04.21 -
No comments


Menjaga Keutuhan Rumah Tangga
(ditulis
oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Perselisihan yang terjadi antara
sepasang suami istri dalam sebuah rumah tangga merupakan perkara yang tidak
bisa dihindari. Dalam menghadapi perselisihan tersebut diperlukan sikap arif, sabar,
dan pikiran jernih. Bila yang muncul adalah sikap sebaliknya, perselisihan bisa
semakin besar, bahkan tak jarang muncul ancaman dari salah satu pihak atau
kedua pihak untuk bercerai. Padahal perceraian merupakan perkara yang
menimbulkan banyak kejelekan, dan tidak semua perselisihan mesti diakhiri
dengan perceraian.
Munculnya masalah dalam sebuah rumah tangga merupakan suatu
kemestian. Tak satu pun rumah tangga yang luput darinya. Rumah tangga orang
khusus atau orang umum, orang yang berilmu agama ataupun tidak mengerti agama,
pasti menemui yang namanya masalah. Karena demikianlah kenyataan yang harus
dihadapi dalam kehidupan dunia.
Beda halnya nanti di akhirat, pasangan suami istri di jannah (surga) negeri keabadian hanya merasakan kenikmatan demi kenikmatan, tenggelam dalam kesenangan demi kesenangan, tak ada kesusahan, tak ada kesulitan, tak ada kepayahan, tak ada derita nestapa, tak ada gundah gulana, tak ada problema… Penduduk jannah akan mendapatkan pasangan mereka demikian sempurna, indah, menawan, selalu menyenangkan dan tak pernah menjemukan.
Adapun kehidupan di dunia, kekurangan, kesulitan, kesempitan, kejenuhan hampir menjadi kemestian. Sehingga problema, termasuk problema rumah tangga, menjadi suatu kelaziman hidup di dunia, namun bukan berarti tidak ada jalan keluar dari problem tersebut.
Namun sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang begitu cepat memilih “berpisah” ketika problem itu datang seakan tak ada jalan keluar dari permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). Mereka begitu terburu-buru memutuskan bercerai tanpa peduli dengan akibat yang akan terjadi. Seakan lembaga pernikahan tidak memiliki nilai yang agung di sisi mereka, sehingga sebagaimana mereka terlalu cepat menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak mempertimbangkan sisi agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun terlalu cepat memutuskan hubungan yang terjalin lewat pernikahan tersebut.
Beda halnya nanti di akhirat, pasangan suami istri di jannah (surga) negeri keabadian hanya merasakan kenikmatan demi kenikmatan, tenggelam dalam kesenangan demi kesenangan, tak ada kesusahan, tak ada kesulitan, tak ada kepayahan, tak ada derita nestapa, tak ada gundah gulana, tak ada problema… Penduduk jannah akan mendapatkan pasangan mereka demikian sempurna, indah, menawan, selalu menyenangkan dan tak pernah menjemukan.
Adapun kehidupan di dunia, kekurangan, kesulitan, kesempitan, kejenuhan hampir menjadi kemestian. Sehingga problema, termasuk problema rumah tangga, menjadi suatu kelaziman hidup di dunia, namun bukan berarti tidak ada jalan keluar dari problem tersebut.
Namun sangat disayangkan, ada di antara pasangan suami istri yang begitu cepat memilih “berpisah” ketika problem itu datang seakan tak ada jalan keluar dari permasalahan kecuali dengan perceraian (talak). Mereka begitu terburu-buru memutuskan bercerai tanpa peduli dengan akibat yang akan terjadi. Seakan lembaga pernikahan tidak memiliki nilai yang agung di sisi mereka, sehingga sebagaimana mereka terlalu cepat menjatuhkan pilihan teman hidup, tanpa banyak mempertimbangkan sisi agama, akhlak, kepribadian dan kebaikannya, mereka pun terlalu cepat memutuskan hubungan yang terjalin lewat pernikahan tersebut.
Banyak kasus perceraian yang kita dengar di sekitar kita dan
selalu yang menjadi korban adalah anak-anak dari pasangan yang berpisah
tersebut. Umumnya anak-anak ini tumbuh tidak seperti anak-anak yang tumbuh
besar dalam keluarga yang masih utuh. Mereka kurang percaya diri, gamang, mudah
goncang, gampang sedih dan kurang kasih sayang. Selain berdampak buruk pada
anak-anak, perceraian juga mengakibatkan hancurnya tatanan keluarga dan anggota
keluarga menjadi tercerai-berai. Terkadang di belakang hari timbul penyesalan.
Namun sesal tiada berguna lagi ketika itu.
Asy-Syaikh Shalih As-Sadlan hafizhahullah mengatakan: “Dalam
kenyataannya, jarang didapatkan satu masa dari umur kebersamaan sepasang suami
istri yang terlepas dari masalah dan perselisihan. Karena itulah kita mesti
menerima perselisihan itu, akan tetapi kita tidak menyerah kepadanya atau tidak
tenggelam di dalamnya. Perselisihan itu buruk, dapat mengeruhkan jiwa dan
memadamkan cahaya keindahan hidup berumah tangga. Semestinya kita lari darinya
dengan segala jalan. Akan tetapi tidak sepantasnya kita menyangka malapetaka
telah menimpa saat terjadi perselisihan apapun bentuknya, karena setiap
penyakit ada obatnya dan setiap luka ada penyembuhnya. Dengan menyepakati
kaidah ini, akan berjalanlah kemudi kehidupan menuju daratan bahagia dan
keselamatan. Makna dari semua ini adalah tidak tepat bertameng dengan
perceraian karena suatu sebab yang masih mungkin untuk diperbaiki, atau karena
perkara yang mungkin akan berubah di waktu mendatang.” (An-Nusyuz, hal. 34)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk memperbaiki hubungan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang dapat mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara cara penyelesaian (masalah) tersebut1 yaitu nasehat, hajr2, dan pukulan yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat3. Sebagaimana firman Allah U:
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazt berkata: “Allah mensyariatkan untuk memperbaiki hubungan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang dapat mengum-pulkan keutuhan keduanya dan menjauhi perceraian. Di antara cara penyelesaian (masalah) tersebut1 yaitu nasehat, hajr2, dan pukulan yang ringan bila dua cara pertama tidak bermanfaat3. Sebagaimana firman Allah U:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan
yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasehati mereka, meninggalkan mereka
di tempat tidur (hajr) dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian
maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`:
34) Termasuk upaya penyelesaian ketika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak adalah mengirim dua hakim, dari pihak suami dan dari pihak istri5,
dengan tujuan untuk meng-ishlah (memperbaiki hubungan) keduanya sebagaimana
firman Allah:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan di antara keduanya
maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami
dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa`: 35)
(Al-Fatawa – Kitabud Da`wah, 2/237: 239)
Apabila cara-cara ini tidak bermanfaat dan tidak mudah
memperbaiki keadaan dan perselisihan terus berlanjut, sementara bila pernikahan
tetap dipertahankan yang timbul hanyalah permusuhan, kebencian dan maksiat
kepada Allah U, barulah memutuskan untuk bercerai.
Bercerai berarti hancurnya keutuhan keluarga, sementara
kehancuran keluarga merupakan salah satu target yang diincar oleh para setan.
Mereka sangat bergembira bila suami berpisah dengan istrinya, anak-anak
terpisah dari ayah atau ibunya. Rasulullah mengabarkan:
Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air
kemudian ia mengirim tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara
mereka dengan Iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Salah
seorang dari mereka datang seraya berkata: “Aku telah melakukan ini dan itu.”
Maka Iblis menjawab: “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang yang lain
seraya berkata: “Tidaklah aku meninggalkan dia (manusia yang digodanya) hingga
aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka Iblis pun mendekatkan anak
buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya dengan berkata: “Sebaik-baik
(anak buahku adalah) kamu.”
Al-A‘masy (perawi hadits ini) berkata: “Aku kira Rasulullah n bersabda ketika itu: “Iblis merangkul dan memeluk anak buahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 2813)
Al-A‘masy (perawi hadits ini) berkata: “Aku kira Rasulullah n bersabda ketika itu: “Iblis merangkul dan memeluk anak buahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 2813)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan hadits di atas bahwa Iblis
bermarkas di lautan, dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru
bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan antara suami dengan
istrinya tersebut karena kagum dengan apa yang dilakukannya dan ia dapat
mencapai puncak tujuan yang dikehendaki Iblis. (Syarh Shahih Muslim, 17/157)
Sebegitu kuat ambisi Iblis dan para setan sebagai tentaranya
untuk menghancurkan kehidupan keluarga hingga mereka bersedia membantu setan
dari kalangan manusia untuk mengerjakan sihir yang dapat memisahkan suami
dengan istrinya. Allah U berfirman menyebutkan ihwal orang-orang Yahudi yang
biasa melakukan pekerjaan kufur ini (sihir) guna
memisahkan pasangan suami istri:
“Orang-orang Yahudi itu mengikuti apa yang dibacakan para
setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman
itu mengerjakan sihir) padahal Sulaiman tidaklah kafir (mengerjakan sihir)
namun setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia
dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum keduanya
mengatakan: ‘Kami hanyalah ujian (cobaan) bagimu maka janganlah engkau kufur
dengan belajar sihir.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengan
sihir tersebut mereka bisa memisahkan antara suami dengan istrinya…”
(Al-Baqarah: 102)
Sikap bermudah-mudah dalam memutuskan bercerai ini bisa
datang dari pihak suami, atau pihak istri, atau dari kedua belah pihak.
Suami yang bersikap terburu-buru ini, ketika mendapatkan
istrinya tidak seperti yang didambakannya, vonis talak pun jatuh dari lisannya
dengan tidak menaruh iba kepada istrinya yang bakal menyandang status janda
dengan segala fitnah yang mungkin akan menghampiri. Semestinya ia merasa iba
dengan seorang wanita yang lemah, yang butuh dirinya sebagai pelindung dan
pengayom hidup. Seharusnya ia bersabar terhadap kekurangan yang ada pada
istrinya, selama bukan perkara yang syar’i dan prinsip, jangan dijadikannya
sebagai sumber kebencian sehingga menjadi alasan untuk memutuskan hubungan.
Bukankah Rasulullah r pernah bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia
tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia senang dengan
tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t menyatakan:
“Sepantasnya bagi kalian –wahai para suami– untuk tetap menahan istri kalian
dalam ikatan pernikahan (tidak menceraikannya) walaupun kalian tidak suka pada
mereka. Karena di balik semua itu ada kebaikan yang besar. Di antaranya adalah
berpegang dengan perintah Allah U dan menerima wasiat-Nya yang di dalamnya
terdapat kebaikan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia
memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan ia tidak
mencintainya, ada perjuangan jiwa dan menunjukkan akhlak yang bagus. Bisa jadi
ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana dapat
disaksikan dari kenyataan yang ada. Dan bisa jadi ia mendapat rizki berupa anak
yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya
di dunia dan di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk
tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan tidak timbul perkara yang dikhawatirkan.
Bila memang harus berpisah dan tidak mungkin untuk tetap seiring bersama maka
si suami tidak dapat dipaksakan untuk tetap menahan istrinya dalam pernikahan.”
(Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Tidak pantas selama-lamanya bagi seorang suami untuk
berpikir cerai semata-mata karena perubahan perasaannya terhadap istrinya, atau
kebencian yang datang tiba-tiba, atau semata karena ketidaksukaan terhadap
sebagian gerak gerik istrinya dan akhlaknya yang tidak berkaitan dengan kehormatan
atau agama. Karena yang namanya perasaan itu dapat berbolak balik dan tabiat
itu dapat berubah-ubah sehingga tidak tepat perkara-perkara yang berkaitan
dengan keberadaan keluarga dibangun di atasnya, demikian kata Asy-Syaikh Shalih
As-Sadlan hafizhahullah. (An-Nusyuz, hal. 34)
Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi t menghikayatkan satu kisah
dalam kitabnya Al-Kaba`ir yang mungkin bisa menjadi renungan dan pelajaran bagi
para suami. Disebutkan, ada seorang yang shalih memiliki saudara fillah
(seagama) dari kalangan orang shalih pula. Saudaranya ini menziarahinya setahun
sekali. Suatu ketika saudaranya ini mengetuk pintu rumahnya. Berkatalah istri
orang shalih tersebut: “Siapa?”
“Saudara suamimu fillah datang untuk menziarahinya,” jawab
si pengetuk pintu
“Dia pergi mencari kayu bakar, semoga Allah tidak mengembalikannya (ke rumah ini), semoga dia tidak selamat,” kata istri orang shalih tersebut dan wanita ini terus mencaci-maki suaminya.
Ketika saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, tiba-tiba orang shalih itu datang dari arah gunung dalam keadaan menuntun singa yang memikul kayu bakar di punggungnya. Orang shalih ini pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat datang (marhaban) kepada saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan memasukkan pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut: “Pergilah, barakallahu fik (semoga Allah memberkahimu).”
Lalu saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara istrinya masih terus mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun terucap darinya untuk membalas cercaan istrinya.
Pada tahun berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah ini kembali menziarahi orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan terdengar suara istri orang shalih tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Dia pergi mencari kayu bakar, semoga Allah tidak mengembalikannya (ke rumah ini), semoga dia tidak selamat,” kata istri orang shalih tersebut dan wanita ini terus mencaci-maki suaminya.
Ketika saudara fillah ini tengah berdiri di depan pintu, tiba-tiba orang shalih itu datang dari arah gunung dalam keadaan menuntun singa yang memikul kayu bakar di punggungnya. Orang shalih ini pun mengucapkan salam dan menyatakan selamat datang (marhaban) kepada saudaranya fillah. Setelahnya ia masuk ke dalam rumah dan memasukkan pula kayu bakarnya. Lalu ia berkata kepada singa tersebut: “Pergilah, barakallahu fik (semoga Allah memberkahimu).”
Lalu saudaranya dipersilahkan masuk ke rumahnya sementara istrinya masih terus mencaci-maki dirinya. Namun tak satu kata pun terucap darinya untuk membalas cercaan istrinya.
Pada tahun berikutnya, sebagaimana kebiasaannya saudara fillah ini kembali menziarahi orang shalih tersebut. Ia mengetuk pintu dan terdengar suara istri orang shalih tersebut: “Siapa di balik pintu?”
“Fulan, saudara suamimu fillah,” jawabnya.
“Marhaban, ahlan wa sahlan, tunggulah. Silakan duduk di
tempat yang telah disediakan, suamiku akan datang insya Allah dengan kebaikan
dan keselamatan,” kata istri orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini pun kagum dengan kesantunan ucapan dan
adab istri orang shalih tersebut. Tiba-tiba orang shalih tersebut datang dengan
memikul kayu bakar di atas punggungnya, saudara fillah ini pun heran dengan apa
yang dilihatnya. Orang shalih itu mendatanginya seraya mengucapkan salam dan
masuk ke rumahnya beserta tamu tahunannya. Istrinya lalu menghidangkan makanan
bagi keduanya dan dengan ucapan yang baik ia mempersilahkan keduanya menyantap
hidangan yang tersedia.
Ketika saudara fillah ini hendak permisi pulang, ia berkata:
“Wahai saudaraku, beritahulah kepadaku tentang apa yang akan kutanyakan
kepadamu.”
“Apa itu wahai saudaraku?” tanya orang shalih tersebut.
Saudara fillah ini berkata: “Pada tahun yang awal ketika aku
mendatangimu, aku mendengar ucapan seorang wanita yang jelek lisannya, mengucapkan
kata-kata yang tidak baik dan kurang adab. Wanita itu banyak melaknat. Dalam
kesempatan itu juga aku melihatmu datang dari arah gunung sementara kayu
bakarmu berada di atas punggung seekor singa yang tunduk di hadapanmu. Pada
tahun ini aku mendengar ucapan yang bagus dari istrimu, tanpa ada celaan dari
lisannya, namun aku melihatmu memikul sendiri kayu bakar di atas punggungmu.
Apakah sebabnya?”
Orang shalih ini berkata: “Wahai saudaraku, istriku yang
jelek akhlaknya itu telah meninggal. Aku dulunya bersabar menerima akhlaknya
dan apa yang muncul darinya. Aku hidup bersamanya dalam kepayahan namun aku
sabari. Karena kesabaranku menghadapi istriku, Allah menundukkan untukku seekor
singa yang engkau lihat ia memikulkan kayu bakarku. Ketika istriku itu
meninggal, aku pun menikahi wanita yang shalihah ini dan hidupku bahagia
bersamanya. Maka singa itu tidak pernah datang lagi membantuku hingga aku harus
memikul sendiri kayu bakar di atas punggungku, karena aku sudah hidup bahagia
bersama istriku yang diberkahi lagi taat ini.” (Al-Kaba`ir, hal. 195-196)
Di antara para istri ada pula yang tergesa-gesa minta cerai
dari suaminya tanpa alasan yang dibolehkan syariat. Terkadang masalahnya sepele
dan masih mungkin dicarikan jalan keluarnya. Namun tanpa berpikir panjang ke
depan istri ini menuntut cerai dari suaminya.
Rasulullah r sendiri telah bersabda:
Rasulullah r sendiri telah bersabda:
“Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya tanpa
sebab (syar’i) maka diharamkan baginya mencium wanginya jannah.” (HR. Ahmad
5/277. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 2703)
Adapun bila ada alasan syar‘i seperti kecanduan minuman
keras dan obat-obat terlarang, atau si suami memaksanya melakukan perkara yang
haram, atau menzaliminya dengan menyiksanya atau tidak memberikan haknya yang
syar‘i, sementara nasehat tidak lagi bermanfaat bagi si suami dan istri
tersebut tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki keadaan, maka ketika
keadaannya seperti ini tidak disalahkan si istri minta cerai dari suaminya guna
menyelamatkan agamanya dan jiwanya. (Al-Muharramat Istahana bihan Nas Yajibul
Hadzru Minha, hal. 33)
Apabila seorang istri melihat ketidaksukaan suami
terhadapnya dan ia bisa menangkap isyarat-isyarat yang menunjukkan suaminya
ingin berpisah dengannya, sementara ia ingin tetap dalam ikatan pernikahan
dengan suaminya maka perceraian tidak selamanya menjadi pilihan akhir yang
harus ditempuh. Syariat yang mulia ini memberikan jalan keluar yang lain sebagaimana
termaktub dalam firman Allah :
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya
atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada dosa atas keduanya
untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya dan perdamaian itu
lebih baik.” (An-Nisa`: 128) [Al-Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.
144]
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Apabila seorang istri
khawatir suaminya akan menjauh/lari darinya, atau berpaling darinya, maka
dibolehkan bagi si istri untuk mengugurkan haknya (yang tadinya harus dipenuhi
suami) atau sebagian haknya berupa nafkah, pakaian, giliran bermalam atau yang
lainnya dari hak-haknya terhadap suaminya. Dan suami dibolehkan menerima hal
itu dari istrinya. Sebagaimana si istri tidaklah berdosa dalam merelakan hal
tersebut, demikian pula si suami tidak berdosa bila menerimanya. Karena itulah
Allah U berfirman: “Maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengadakan
perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” Kemudian Allah U berfirman: “dan
perdamaian itu lebih baik”, yakni lebih baik daripada bercerai.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir t lalu menyebutkan kisah Saudah bintu
Zam`ah x, saat usianya menua dan Rasulullah r telah berketetapan untuk
menceraikannya. Saudah pun menawarkan perdamaian kepada beliau r agar beliau
tetap mempertahankannya sebagai istri dan ia merelakan hari gilirannya untuk
Aisyahx. Rasulullah n menerima hal itu dari Saudah dan tidak jadi
menceraikannya (Tafsir Ibnu Katsir, 1/314).
Wallahu a’lam.
- Bila problem yang ada karena istri berbuat nusyuz.
- Ibnu ‘Abbas c menafsirkan hajr ini dengan tidak menggauli si istri, tidak tidur bersamanya dan memunggunginya. As-Suddi, Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan: “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan si istri dan tidak mengajaknya bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
- Lihat penjelasan hal ini dalam Asy Syariah Vol .1/No. 01/Agustus 2003/Jumadil Akhir 1424, hal. 61
- Istri berbuat nusyuz maknanya ia mendurhakai suaminya dan membuatnya marah (Mukhtarush Shihhah, hal. 311)
- Yakni dua orang laki-laki yang mukallaf, muslim, adil dan berakal. Keduanya mengetahui apa yang terjadi di antara pasangan suami istri tersebut dan keduanya punya pandangan apakah suami istri itu sebaiknya tetap disatukan atau berpisah, karena demikianlah sifat seorang hakim. (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 177)